Pemerintah dan DPR akan semakin sibuk bila level pelemahan rupiah semakin menjauhi asumsi di RAPBN. Sejak dipaparkan di nota keuangan Agustus yang lalu, banyak kalangan pesimis dengan asumsi tersebut. Ini terlihat pemerintah terlalu optimis atau tidak bisa membaca data ekonomi yang berkembang.
Bila ditelusuri dari pelemahan rupiah sejak 2011, tampak sinkron sekali dengan menurunnya kinerja ekspor. Kondisi ini masih berlanjut dan bahkan mengalami pelemahan lebih dalam saat dihantam oleh faktor eksternal. Dengan kondisi ekonomi global yang masih bergejolak dan kinerja ekspor yang belum membaik, nampaknya pelemahan rupiah akan semakin dalam.
Bisa jadi akan terjadi revisi total di RAPBN yang akan disahkan nantinya. Bukan tidak sekali, sudah berkali-kali pemerintah dan DPR selalu melakukan hal sama dan berulang-ulang dalam membuat rencana belanja. Kebanyakan terlalu tidak realistis dan tidak memandang data secara visionaris.
Memang tidak mudah membuat sebuah asumsi, bila kondisinya masih bergejolak. Namun bisa ditekan menjadi lebih realistis bila program dalam RAPBN sesuai dengan masalah yang dihadapi. Saat ini tak satupun program yang diandalkan bisa mengenjot ekspor dengan segera.
Justru struktur RAPBN masih mengandalkan proyek infrastruktur untuk menarik investasi. Ini adalah langkah yang spekulatif. Sebuah pemerintahan harusnya tidak melakukan hal tersebut, karena mudah dibaca oleh pasar dan tidak bisa dipercaya kelangsungannya. Optimis boleh saja, asalkan sesuai dengan kondisi yang terjadi.
Sudah berkali-kali para elite ini hanya omong saja dan tak sesuai dengan kondisi yang ada. Satu pejabat bilang santai, tapi yang lainnya bilang waspada. Suatu yang dibaca oleh pasar sebagai keraguan, dan hanya sebagai penghibur atas kondisi yang tidak menentu. Kenapa harus perbankan didorong untuk kerja keras, sementara penyebabnya adalah kebijakan pemerintah sendiri yang membawa ke arah yang salah?
Saat ini rupiah benar-benar semakin tertekan dan tidak ada kebijakan yang pas untuk menahannya. Kebijakan yang dijalankan masih itu-itu saja dan tidak menyentuh pondasi ekonomi yang sebenarnya. Kinerja ekspor yang terefleksi dari kondisi industri yang melemah, menandakan perlunya perubahan mendasar di struktur RAPBN dan kebijakan ekonomi ke depannya.