Perubahan ekonomi global begitu cepat terjadi. Dulu Negara yang mengandalkan komoditas ekspornya bisa berjaya dan kaya raya, namun kondisi ini berbalik 360 derajat sejak kejatuhan harga komoditas. Saat harga minyak anjlok dan diikuti bahan tambang, menjadi awal dari kejatuhan Negara dengan andalan komoditas tersebut.
Sebut saja Venezuela, Rusia yang mengandalkan sektor minyaknya, harus bergelut dengan resesi. Demikian pula Negara maju sekelas Kanada, juga harus masuk ke dalam resesi. Sektor komoditas tambang sudah bukan lagi primadona seperti beberapa tahun yang lalu.
Overproduksi diduga menjadi penyebab kejatuhan harga tambang ini, meskipun ada juga faktor politis dari overproduksi yang dilakukan amerika untuk menekan Rusia yang menginvasi Ukrania. Langkah amerika ini ternyata menimbulkan efek domino, merusak pula harga komoditas lainnya seperti dari sektor perkebunan, yang terimbas oleh penurunan ekonomi Negara-negara tersebut.
Jadi kejatuhan segala harga barang komoditas ini sudah menjadi rangkaian efek domino dari kejatuhan ekonomi. Indonesia yang juga mengandalkan barang komoditas untuk ekspor juga mengalami hal yang sama. Praktis sejak kejayaan ekspor pada tahun 2011 yang tembus 200 milyar dollar, kinerja ekspor semakin menurun.
Harga sawit yang semakin menurun, diikuti harga komoditas perkebunan lainnya, membuat kinerja ekspor kita menjadi menurun. Ini nampaknya yang tidak disikapi oleh pemerintah sejak tahun 2012 saat kinerja ekspor mulai menurun. Puncaknya saat akhir 2014 terjadi krisis di bursa saham cina, sebenarnya pemerintah sudah memiliki waktu untuk merubah kebijakan ekonominya.
Namun pemerintah yang baru terbentuk nampaknya terlalu optimis dan “pede” atas kebijakan yang diambil. Padahal sudah tahu krisis sudah di depan mata, dan tampak masih mengandalkan proyek infrastrukturnya akan menyelesaikan persoalan yang terjadi. Ini tentunya tidak klop dengan kondisi yang terjadi. Disaat pasar global sudah berubah 360 derajat, pemerintah masih ngotot dengan proyek infrastrukturnya.
Ini tentunya sudah terlambat, apa yang terjadi di bulan juli saat kampanye sudah berbeda kondisinya saat cina mengalami krisis di bursa saham dan diikuti anjloknya kinerja ekspor. Pemerintah masih mengandalkan program andalan saat kampanye dengan kondisi yang sudah berubah dengan cepat. Hal inilah yang membuat ekonomi Indonesia hanyut dalam pusaran kelesuan ekonomi global.
Lagi-lagi faktor eksternal yang selalu di-kambing-hitamkan dan percaya ekonomi Indonesia masih kuat. Ini adalah kesalahan dalam melihat kondisi global dan kondisi ekonomi sendiri. Harusnya pemerintah tahu bahwa pondasi ekonomi yang berdasar pada komoditas sudah tak laku lagi.
Apalagi dengan usaha masuk menjadi anggota OPEC, situasinya sudah berubah. Komoditas sudah tidak bisa diandalkan lagi, dan harusnya ini sudah dicerna dengan baik dalam menelurkan kebijakan ekonomi ke depannya. Banyak investor asing “kabur” karena memang sudah berbeda pendapat dalam melihat langkah pemerintah mengatasi kelesuan ekonomi.
Bila kebijakan ekonomi tidak berubah, dipastikan Indonesia akan ikut terseret dalam resesi. Indikator ekonomi sudah mulai tampak mengkawatirkan. Hanya masalah waktu, Indonesia akan jatuh ke dalam krisis.