Seiring dengan harga tanah yang semakin mahal dan langka, maka hunian vertikal menjadi solusinya. Mulailah bermunculan program rusun, rusunawa atau rusunami yang dibiayai pemerintah dan apartemen murah yang dilirik swasta sebagai pesaing dari rusun ini. Tentu saja dari istilahnya saja orang akan lebih memilih apartemen daripada rusun, dengan pertimbangan lebih baik fasilitasnya.
Seperti daya tarik lokasi apartemen yang dekat dengan jalur transportasi atau stasiun kereta api. Ini tentunya akan menguntungkan dari sisi investasi maupun hunian. Biasanya kalangan pekerja lebih memilih rumah ke tempat kerja yang lebih cepat, ini nampaknya yang dibidik oleh para developer. Di samping ada pertimbangan lainnya dari sisi konsumen.
Salah satu yang menjadi concern para penghuni bangunan vertikal adalah akses ke lantai atas, baik itu elevator atau lift, karena ini yang sering bikin sebel dengan bangunan rusun. Banyak rusun yang dibangun tanpa elevator atau lift dengan alasan lebih hemat. Padahal ini yang menjadi kunci kerasan dan tidaknya penghuni bangunan vertikal.
Iya kalau dapat lokasinya lantai dua atau tiga, kalau dapat yang atas bisa lunglai naik turun tangga. Ini nampaknya yang dilirik oleh developer swasta dalam mengembangkan apartemen murah setingkat di atas rusun. Tentunya dengan fasilitas lift atau elevator yang menjadi concern penghuni bangunan vertikal.
Hanya saja pengembang swasta ini sering ambil untungnya keterlaluan, sehingga mengorbankan kualitas bangunan. Salah satu yang sering dikeluhkan adalah pengembang yang modal dengkul atau abal-abal, mereka tidak memiliki standar bangunan yang layak. Dinding tembok bangunan sering mudah rusak, karena low material atau kurang bahan berkualitas.
Tidak itu saja, ambil untungnya sering diikuti dengan biaya yang tak jelas setelah DP apartemen. Memang sebaiknya hati-hati memilih developer bangunan apartemen murah. Bila mereka sudah pakai permeter harga apartemen dibawah pasaran, sudah harus dicurigai low material.
Lihat saja saat ada apartemen dijual di bawah dua ratu jutaan, dengan asumsi sebuah studio apartemen yang luasnya 15-17 meter persegi maka didapat permeter di kisaran 13 jutaan. Ini sudah sangat murah sekali dan harus diwaspadai adanya low material atau biaya menjebak di belakang hari. Bisa juga diwaspadai adanya hak pengelolaan apartemen yang komersil.
Ini yang sering menjadi kasus antara penghuni apartemen dengan pengelola apartemen. Biasanya dengan alasan belum terjual semua, developer enggan menyerahkan pengeloaan apartemen. Ini yang menimbulkan konflik berkepanjangan penghuni dan pengelola apartemen.
Disini pemerintah sebagai regulator harus mengawasi dengan ketat kualitas bangunan apartemen sekaligus serah terima pengelolaan apartemen. Pemerintah boleh kejar target hunian sejuta rumah, tapi tetap harus ketat dalam mengawasi standar bangunan. Jangan sampai kasus-kasus apartemen roboh di Negara lain terjadi disini.