Surplus neraca perdagangan lebih dikarenakan nilai impor yang menurun tajam. Meski nilai ekspor juga turun, tapi tak sebesar penurunan nilai impor. Besar kemungkinan turunnya daya beli masyarakat membuat konsumsi masyarakat akan barang impor berkurang.
Apalagi dengan pelemahan rupiah beberapa waktu lalu, maka praktis membuat barang impor lebih mahal. Bagi bahan produksi mungkin masih terus jalan impornya, tapi tidak untuk produk impor yang mulai mencari substitusi yang lebih murah. Meski sangat sulit mencari produk yang lebih murah dari negeri cina.
Lihat saja bila kita amati produk-produk cina yang masuk pasar tradisional dan supermarket modern, rata-rata memiliki harga yang jauh lebih murah dari pesaingnya. Contoh sederhana seperti lampu hemat energi, mainan anak-anak, yang boleh dibilang merajai pasar di dalam negeri. Ini membuat sulit sekali untuk bisa keluar dari defisit yang sangat besar dengan cina.
Disamping itu pula melambungnya investasi cina di Indonesia, mendorong pemakaian barang-barang cina. Seperti mesin-mesin untuk industri, peralatan konstruksi, yang sebenarnya ada dan bisa diproduksi di dalam negeri, namun karena tender proyek dimenangkan oleh perusahaan cina, maka menjadi hak “prerogatif” menggunakan barang mereka.
Diperkirakan defisit neraca perdagangan dengan cina yang semakin melebar ini dikesampingkan oleh pemerintah saat ini. Pertimbangan investasi dari cina yang besar, kucuran hutang atau pinjaman dari cina, cukup membantu finansial rupiah yang kembang kempis diterjang gejolak global. Pertimbangan inilah yang membuat pemerintah adem ayem atas defisit perdagangan dengan cina yang semakin melebar.
Padahal diperkirakan defisit yang besar ini sudah menekan sendi perekonomian rupiah. Penyebabnya adalah posisi bargain Indonesia yang tidak seperti amerika saat menghadapi defisit perdagangan dengan Jepang. Amerika bisa teriak-teriak dan marah terhadap Jepang hingga pemerintah Jepang mengalah dengan impor lebih banyak dari Amerika untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.
Ini tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah Indonesia, Protes ataupun permintaan penyeimbangan neraca perdagangan adalah hal yang mustahil dilakukan. Kuncuran investasi dan pinjaman yang besar sudah mengikat dan membelenggu langkah yang benar dalam menyeimbangkan neraca perdagangan dengan cina. Kita sudah takluk secara ekonomi sehingga menihilkan langkah politis di masa depan. Defisit neraca perdagangan yang semakin melebar dengan cina akan menjadi bumerang di kemudian hari.