Selama setahun diperkirakan terjadi capitol outflow atau aliran modal keluar yang cukup besar. Investor nampaknya sudah tak percaya lagi dengan ekonomi rupiah. Nilai rupiah yang semakin turun membuat resiko investasi semakin besar.
Sebuah lembaga investasi pernah merilis hampir satu milyar dollar portofolio investasi keluar dari Indonesia hanya dalam beberapa bulan saja. Ini belum termasuk investasi di sektor industri, diberitakan banyak pabrik yang melakukan relokasi usahanya ke pusat atau ke tempat lain yang lebih kondusif, salah satunya ke India. Memang ini selaras dengan naiknya foreign direct investment ke India.
Memang faktor eksternal tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas capitol outflow ini, kebijakan ekonomi yang salah arah bisa menjadi penyebab lunturnya kepercayaan investor. Wajar bila melihat data ini pemerintah nampaknya panik dan melakukan kebijakan yang semakin manis pada investor asing. Beberapa peluang investasi dibuka lebar, salah satunya dengan mengijinkan kepemilikan asing di sektor property tanpa batas.
Ternyata sama dengan pendahulunya, jurus terakhir dikeluarkan, apapun yang bisa dijual akan dilego dengan harga diskon. Kondisi ini semakin menyakinkan investor, bahwa ada semacam incompetence di sisi leadership dalam mengambil kebijakan ekonomi. Suatu yang sudah dianalisa oleh sebuah badan keuangan dunia, persoalan leadership dan infrastruktur adalah penyebab perlambatan ekonomi.
Ada semacam kebijakan ekonomi yang salah arah hingga investor sudah melakukan mosi tidak percaya pada kondisi investasi di Indonesia. Apapun yang diinvestasikan akan merugi, lebih baik cari yang lebih menguntungkan di tempat lain. Terlihat ada data yang tidak sinkron yang dimiliki oleh pemerintah.
Data pemerintah agaknya jauh dari realita dan beda dengan persepsi investor. Hal inilah yang membuat pemerintah ngotot dengan kebijakan ekonominya. Padahal di sisi lain investor sudah meragukan korelasinya akan perbaikan ekonomi.
Larinya modal asing ini harusnya sudah dipelajari lagi oleh pemerintah. Harusnya diteliti lagi data yang dimiliki, bukan tidak mungkin datanya sudah tidak valid, sehingga kebijakan yang diambil semakin tidak efektif dan salah arah. Harusnya pemerintah berpijak pada data yang terkini dalam mengambil kebijakan ekonomi dan bukan berdasar pada asumsi.