Indonesia boleh dibilang jauh tertinggal dalam pengembangan teknologi rudal. Kalah dengan India, Pakistan, Iran bahkan Negara kecil seperti Swedia. Padahal teknologi rudal ini sangat penting dalam diplomasi dan hubungan internasional, termasuk pula dalam kasus LCS atau Natuna yang semakin memanas. Disini semakin terlihat kebijakan luar negeri maupun militer yang tidak terencana dengan baik.
Memang sih siapa mengira Cina yang selama ini “mesra” hubungannya dengan kita, alias sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, mulai berani mengusik kawasan ZEE Natuna. Tentunya semua ini tidak diperhitungkan karena policy bebas aktif atau zero enemy thousand friend ini telah membuat posisi tawar semakin lemah. Ini pula yang membuat doktrin militer dan strategi pembelajaan alusista menjadi salah arah.
Akibatnya tentu saja mempengaruhi penguasaan industri strategis, termasuk penguasaan teknologi rudal di dalamnya. Padahal rudal ini memiliki nilai tawar yang tinggi dengan anggaran yang tidak terlalu besar. Pastinya Cina tidak akan berani mengusik ZEE Natuna bila kita memiliki rudal yang bisa menjangkau base militernya di Spratly, yang jaraknya sekitar 1000 km dari Natuna.
Mungkin kalau bicara perang akan sangat complicated, namun agresifitas Cina sudah bisa terlihat dengan anggaran militer yang tidak transparan dan membengkak. Tiap tahun ada saja destroyer yang keluar dari galangan kapalnya. Belum lagi kapal induk kedua dan ketiga yang sudah terlihat bentuknya.
Memang sih kita tak akan mampu menandingi belanja militer Cina, tapi bila kita memiliki deteren militer yang lebih baik, tentunya cina akan pikir panjang mengusik ZEE natuna. Bisa saja kapal selam, rudal balistik yang semuanya memiliki rasio retaliate yang tinggi. Boleh saja Cina memiliki 10 kapal induk, ratusan destroyer, ratusan kapal selam, kalau kita punya kapal selam dan rudal yang bisa menjangkau base militer di spratly, bahkan mainland maka Cina tak akan main-main dengan Natuna.
Selama ini memang Cina menjadi tukang bully bagi Negara di kawasan Laut Cina selatan, karena memang tak ada yang mampu menandinginya. Lihat saja konflik sehari dengan Vietnam, puluhan tentara Vietnam dibabat habis di saat perang di Johnson south reef. Terlihat agresifitas cina yang harus diwaspadai jauh hari, padahal kejadian ini sudah 28 tahun yang lalu.
Hal inilah yang membuat Vietnam mempersenjatai diri dengan impor senjata strategis, termasuk kilo submarine, rudal menengah, serta peluncur roket yang mampu mencapai kawasan spratly. Bisa jadi kita mengambil pelajaran dari kasus Vietnam ini, dengan mengatur ulang strategi belanja militer yang tepat.
Kebijakan zero enemy sudah harus ditinggalkan, tentunya dengan konsekwensi membangun industri militer yang memiliki deteren yang tinggi. Seperti proyek kapal selam yang dibangun secara mandiri patut ditiru. Disini perlu lompatan besar dalam mengakuisisi teknologi rudal dengan cepat. Baik dengan TOT 100 persen atau parsial. Beberapa opsi sebenarnya bisa dirangkul semua, seperti tawaran dari Swedia dalam RBS15 atau kerjasama dengan Ukrania dalam pengembangan roket. Semua ini harus menjadi prioritas karena teknologi rudal ini sangat besar deterennya. Sedang rencana TOT rudal C705 dari Cina sebaiknya dibatalkan, pertama karena kita berkonflik dengan Cina sehingga bisa kena embargo setiap saat, kedua teknologi C705 ini sudah obsolete.
Sebaiknya pula anggaran riset roket atau rudal ini diperbesar sehingga bisa menguasai teknologi lainnya termasuk radar jarak jauh, satelit, serta defense system lainnya. Dengan anggaran yang terbatas, paska pemotongan anggaran maka perlu dikaji ulang pengadaan alusista yang hanya menjadi sitting duck bagi rudal jarak jauh Cina. Apalagi Cina punya ribuan rudal supersonic yang bisa membuat armada laut dan udara lumpuh dalam sekejab. Tentunya semua ini jangan sampai terjadi, makanya harus punya deteren retaliate yang bagus.