Tidak ada yang menyangka bahwa ojek online ini bisa lebih diterima daripada transportasi masal yang ada. Mungkin saja kegagalan dalam operasional transportasi masal yang membuat ojek online ini naik daun, selain juga murah dan lebih cepat sampai tujuan. Lagi pula tidak perlu dana trilyunan rupiah untuk eksekusi transportasi murah ojek online ini.
Justru ojek online dengan dana minimal bisa menampung lebih banyak tenaga kerja daripada megaproyek mercusuar kereta cepat. Juga tak perlu hutang sana-sini dan tak perlu berurusan dengan dollar, ojek online ini bisa eksis. Hanya memang kurang prestisius, dan tidak bisa dibanggakan karena memang ojek online tak bisa menempuh jarak 350 km perjam. (kecuali bila ojeknya Marc Marquez dan motornya yang dipakai di MotoGP).
Memang bila adu hebat antara ojek online dengan kereta cepat tak ada habisnya. Soalnya lebih bersifat politis, bahkan seorang inspirator intelektual independent bisa “hanyut” oleh proyek mercusuar kereta cepat. Mungkin saja pembelaan beliau atas kereta cepat lebih pada “ekosistem bisnis” dan jangan ajari bebek berenang, tapi bebek tidak seharusnya berenang menyeberangi lautan.
Kita tak akan berpolemik bila memang tidak ada yang salah dalam proyek kereta cepat. Lagian jangan meremehkan masyarakat dengan idiom “jangan ajari bebek berenang”. Semua tahu BUMN sudah punya pengalaman, tapi kalau menyangkut inovasi bisnis, masih kalah besar dengan ojek online.
Apalagi dengan kondisi Negara yang lagi ramai PHK, tentu tak perlu hutang 5,5 milyar dollar hanya untuk menggerakan ekonomi dan menampung mereka yang terkena PHK. Apalagi dengan bunga 2,2 persen setahun selama 50 tahun, sungguh sangat luar biasa bila bisa mengalahkan bunga 0,1 persen. Disini masyarakat terusik dengan proyek kereta cepat yang terlihat dipaksakan demi suatu kebanggaan akan proyek mercusuar.
Soalnya pengalaman yang sudah-sudah, Malaysia terseok-seok dengan proyek mercusuar petronas. Lalu dubai dengan proyek mercusuar burj khalifa, semua ini harusnya bisa dijadikan pelajaran, karena masyarakat juga yang akan menanggung bila proyek kereta cepat rugi. Memang tak pakai dana APBN, tapi jangan bohongi masyarakat karena bila BUMN bermasalah, Negara juga akan turun tangan dan dalam hal ini masyarakat juga yang menanggungnya.
Justru proyek inovatif seperti ojek online yang tanpa uang APBN sepersepun, lebih bisa bermanfaat bagi masyarakat. Mereka yang terkena PHK bisa punya penghasilan dari ojek online, demikian pula dengan konsumennya akan mendapatkan transportasi yang lebih murah dan lebih rendah resikonya kecopetan atau semacamnya. Sudah bukan rahasia lagi transportasi masal kita tidak diminati karena kumuh, tempat kriminalitas, mulai dari copet, tindakan asusila, yang semua ini membuat masyarakat lebih memilih transportasi pribadi.
Kegagalan Negara dalam memberikan transportasi masal yang murah, aman dan cepat membuat masyarakat memilih caranya sendiri. Hingga muncul ojek online adalah satu dari sebagian fenomena kegagalan Negara dalam mengelola transportasi masal. Apalagi dengan kereta cepat, sudah “cacat”, “bermasalah” atau terlalu dipaksakan demi sebuah proyek mercusuar sebagai satu-satunya yang pertama di asia tenggara, tapi sayangnya di tengah riuh reda PHK masal.
Investasi mahal yang konsumtif ini masih kalah dengan investasi murah meriah yang produktif seperti ojek online. Justru ojek online yang lebih bisa bermanfaat dalam menciptakan “ekosistem bisnis” dan bebek satu ini selain pintar berenang juga sangat efisien dan produktif.