Rupiah dalam beberapa hari memang naik tajam hampir 5 persen. Diduga kenaikannya akibat dari intervensi BI di pasar keuangan. Tidak heran cadangan devisa turun cukup tajam untuk menahan pelemahan rupiah.
Posisi rupiah memang sangat kritis, dan berada di ambang psikologis yang memungkinkan jatuh lebih dalam bila tidak di-intervensi. Memang hasil yang diperoleh seimbang dengan penguatan rupiah. Meskipun sebenarnya untuk sementara waktu, karena rupiah akan bergejolak lagi.
Disini nampaknya para spekulan tersenyum senang saat cadangan devisa turun tajam. Ini berarti gejolak rupiah bakal bisa lebih besar saat kemampuan BI menjadi semakin terbatas untuk intervensi. Meskipun secara verbal BI akan intervensi lagi bila rupiah melemah, namun bisa jadi tak akan dilakukan atau intervensi dengan berat hati.
Posisi cadangan devisa yang terus tergerus sudah menandakan ada yang tidak beres di perekonomian Indonesia. Diduga manajemen fiskal yang buruk bisa menjadi penyebab utama. Diberitakan pula oleh BI, cadangan devisa juga dipakai untuk membayar utang dollar yang cukup banyak disamping untuk intervensi.
Ini pertanda buruk, bahwa pola pengelolaan utang sudah beresiko tinggi. Posisi utang yang sudah memberi gejolak pada rupiah dan indikator ekonomi, harus diwaspadai sebagai lampu merah dan harus segera diperbaiki tata kelolanya. Kebiasaan pemerintah menerbitkan surat utang sudah harus dikendalikan.
Utang yang membumbung tinggi, ibarat bom waktu yang bisa meledak seiring dengan gejolak rupiah. Bagaimanapun cadangan devisa akan menemui batasnya saat kebutuhan untuk membayar utang semakin tinggi, sedang pasokan dollar semakin turun akibat kinerja perdagangan yang buruk. Sudah beberapa tahun ini kinerja ekspor semakin menurun, oleh karena turunnya daya saing dan kebijaksaan ekonomi dari pemerintah sendiri yang kurang fokus.
Sebuah ironi saat rupiah melemah harusnya kinerja ekspor bisa ditingkatkan. Namun justru kebalikannya, kinerja impor yang semakin kuat. Ini membuat tata kelola fiskal menjadi semakin tidak sehat.
Utang yang membengkak dan impor yang tak terkendali akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Tidak saja merusak ketahanan fiskal, juga merusak fundamental ekonomi ke depannya. Apapun alasannya budaya utang ini sudah harus dirubah, bukan lagi untuk menutup belanja APBN tapi fokus pada industri yang produktif.