Polemik kereta cepat nampaknya belum segera berakhir. Persoalan dana APBN tidak untuk kereta cepat dan masalah teknis membuat proyek kereta cepat menjadi berlarut-larut. Dari sisi investor, tentunya ini sebenarnya bukan masalah besar, soalnya bukan persoalan mereka.
Disini memang yang menjadi masalah adalah pemerintah memang tak punya uang. Bila ini maksudnya, harusnya sudah dibuka sejak awal dibikin aturan yang jelas. Jangan membikin aturan setelah ada investasi, atau merubah aturan setelah investasi masuk. Soalnya akan membuat investor lainnya enggan masuk untuk berinvestasi.
Aturan investasi harus jelas, tidak boleh A berganti B sesudah mereka masuk. Bila memang sejak awal tidak ada dana APBN yang masuk, harusnya Negara tak ikut campur dalam pengadaan proyek kereta cepat. Soalnya ada uang ada barang, pemerintah sebagai regulator tidak memiliki wewenang bila tidak ingin memberikan dananya untuk proyek ini.
Persoalan lain adalah klasifikasi teknis dalam tender kereta cepat yang tidak jelas. Sebenarnya rute Jakarta-Bandung ini pernah dihapus dalam proyek pengadaan kereta cepat sebelumnya, karena tidak feasible dan merujuk pada jalur Jakarta-surabaya yang lebih menguntungkan secara bisnis dan teknis. Namun tidak tahu pula bahwa jalur kereta cepat Jakarta-bandung ini kembali mengemuka.
Ada banyak detail tender yang memang tidak dirilis ke publik. Namun bagi pelaku bisnis maupun publik sudah bisa meraba persoalan di belakang mundurnya proyek kereta cepat. Suatu yang ironi di saat pembangunan percepatan infrastruktur, kita masih berkutat dengan persoalan sendiri. Justru investor asing yang dengan agresif masuk untuk mengembangkan bisnis disini.
Apalagi persoalan teknis seperti saat kereta cepat tidak bisa mencapai kecepatan maksimum, karena banyaknya stasiun yang disinggahi dan terlalu dekatnya jarak antar stasiun tersebut. Disini sebenarnya bukan masalah bagi investor, kita saja yang membuat persoalan sendiri. Sudah dari riset selama bertahun-tahun oleh Jepang, hasilnya sudah cukup terang, hingga akhirnya muncul proyek Jakarta-bandung tidak layak dan dialihkan ke Jakarta Surabaya.
Namun agaknya kita sering tidak pernah membaca sebuah kasus dari awal sampai akhir. Praktis melewatkan hal krusial dari sebuah riset dan membuat blunder dalam mengambil keputusan.