Tekanan pada rupiah yang tak pernah berkurang, membuat mata uang garuda ini jadi bulan-bulanan. Setiap BI intervensi, rupiah akan terus menguat. Namun begitu dilepas rupiah akan merosot lagi.
Gejolak rupiah ini tak bisa dibiarkan terus menerus, karena dampaknya sudah merembet kemana-mana. Fokus dan energi pemerintah jadi tersita memikirkan nasib rupiah ini, sehingga genderang pembangunan menjadi terhambat. Juga mulai muncul persoalan baru yang membuat pemerintah sibuk sendiri dengan urusannya.
Padahal di berbagai daerah sudah banyak terjadi PHK dari perusahaan yang sudah tak tahan dengan pelemahan rupiah. Harga bahan baku yang mahal membuat ongkos produksi semakin tinggi. Tentunya ini membuat beban bagi dunia usaha, apalagi dengan daya beli masyarakat yang menurun.
Kalau tidak boleh dibilang krisis, sebenarnya bisa masuk kategori ini. Hal ini karena tekanan pada pelemahan rupiah sudah memberi dampak buruk bagi perekonomian. Tidak seperti cina yang sengaja melemahkan mata uangnya untuk mengenjot kinerja ekspornya, maka bagi kita pelemahan rupiah adalah bencana.
Struktur ekonomi kita yang berdasar pada pertumbuhan ekonomi yang konsumtif akan semakin tertekan dengan pelemahan rupiah. Lalu apa yang harusnya dilakukan pemerintah untuk mengatasi gejolak rupiah ini?
Persoalan pelemahan rupiah ini sebenarnya sudah terjadi dalam dua tahun ini, dan tidak ada langkah efektif yang bisa menghentikan. Hampir tiap bulan rupiah turun secara teratur dan mengalami puncaknya saat krisis di bursa cina dan langkah cina melakukan devaluasi yuan, maka rupiah menjadi anjlok semakin parah. BI kewalahan menghadang pelemahan rupiah, hingga tembus level psikologisnya.
Memang ada pola kebijakan yang tidak berubah pada ekonomi garuda, kebijakan yang dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, tidak pernah dievaluasi atau diubah untuk menghadang rupiah. Justru kebijakan pemerintah yang masih terus bersandar pada ekonomi konsumtif ini telah mengkanfaskan rupiah. Harusnya sudah harus dibangun kebijakan ekonomi yang produktif.
Bila di masa lalu kebijakan ekonomi konsumtif ini bisa bertahan, karena memang masih ada ekspor komoditas yang bisa diandalkan. Sekarang dengan harga komoditas yang anjlok, maka sudah harus bekerja keras membangkitkan industri yang produktif. Ini tidak mudah, karena industri manufaktur sudah kolapse.
Para pengusahanya sudah bosan buka pabrik, tidak terlalu menguntungkan makanya mereka beralih jadi importir atau pedagang. Kondisi inilah yang membuat ekonomi rusak, apalagi dengan kebijakan impor yang tidak melindungi industri nasional. Bak gaung bersambut, menjadi tekanan besar bagi industri dan tak bisa bertahan lagi.
Dengan momen pelemahan rupiah ini, sudah waktunya pemerintah ganti haluan kebijakannya. Sektor industri produktif yang berorientasi ekspor sudah harus digenjot, diberi keringanan pajak, listrik murah, bunga kredit murah dan insentif ekspor yang memadai. Ekspor memang harus digenjot semaksimal mungkin, mumpung rupiah masih melemah. Saat ekspor “menggila” maka otomatis rupiah akan menguat dengan cepat.