Dalam setahun ini terjadi pelarian modal asing yang cukup besar, sehingga menekan rupiah cukup dalam. Kondisi ini bukan tanpa sebab, hanya sulit dicari perbaikannya karena penyebabnya cukup komplek. Apalagi dengan administrasi baru yang belum menguasai kondisi perekonomian yang sebenarnya.
Sudah berbagai cara dilakukan administrasi baru ini, namun hasilnya makin membuat rupiah semakin tertekan. Rupiah terus melemah tanpa bisa ditahan, bahkan dengan mengorbankan cadangan devisa yang semakin menurun untuk intervensi di pasar mata uang. Boleh dibilang administrasi baru ini sudah KO oleh kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik.
Di Negara maju dengan masyarakat yang kritis, media dan parlemen yang efektif, mungkin saja administrasi baru ini sudah jatuh. Mungkin sudah mosi tidak percaya saat rupiah sudah tembus level psikologis dan tak mempan oleh segala kebijakan. Namun agaknya administrasi baru ini tertolong oleh dukungan semua pihak yang ingin ekonomi pulih dan bergerak maju.
Apapun yang terjadi memang kondisi ekonomi rupiah memang semakin memburuk. Meskipun para pejabatnya bilang masih oke, para investor sudah tidak percaya lagi. Mereka sudah keluar dari investasi rupiah secara teratur, ini bisa dengan mudah dilihat di indikator saham, harga komoditas emas dan nilai tukar rupiah.
Para investor asing kayaknya sudah mantap meninggalkan portofolio investasi rupiah. Ini dilihat tidak ada limpahan dari pasar saham ke portofolio emas maupun pasar keuangan lainnya. Mereka langsung ambil posisi dollar, yang berarti kondisi portofolio investasi rupiah sudah tidak kondusif dan tidak menguntungkan.
Semakin naiknya resiko investasi rupiah ini, tidak lain karena memang pondasi ekonomi rupiah sudah semakin melemah. Indikator fundamental yang sudah menurun sejak 2011 ini tidak disadari oleh para pemangku kebijakan maupun kalangan ahli ekonomi Indonesia. Ini tidak aneh karena sempat ada isu mengemuka di era tahun 2007, tentang “middle income trap”.
Ada banyak ahli ekonomi yang percaya Indonesia terjebak dalam “middle income trap”, yaitu Negara dengan penghasilan menengah atau Negara yang sangat besar golongan menengahnya. Hingga tidak mampu mengembangkan industri manufaktur dan mengandalkan pertumbuhan konsumtif sebagai motor penggerak ekonomi. Kondisi ini memang secara statistik bisa dilihat sejak tahun 2011, dimana ekspor yang mencapai puncaknya mengalami penurunan secara pelahan.
Sejak saat itu pemerintah percaya bahwa tidak ada jalan lain selain mengandalkan ekonomi konsumtif, dan ini diamini oleh pemerintahan atau administrasi sekarang. Padahal ekonomi konsumtif inilah awal dari kejatuhan ekonomi dan pelemahan rupiah yang semakin dalam. Inilah yang dilihat oleh investor asing, hingga memutuskan keluar dari portofolio investasi rupiah, karena fundamentalnya sudah semakin melemah dan menaikan resiko berinvestasi pada ekonomi rupiah.