Pada beberapa bulan terakhir rupiah menjadi sorotan. Bukan karena prestasi, tapi karena pelemahan yang begitu dalam dan tak terbendung. Pemerintah memang direpotkan oleh gejolak rupiah ini dan kewalahan dalam menahan laju pelemahannya, bahkan pada beberapa minggu terakhir sudah begitu mengkawatirkan karena menunjukkan akselerasi pelemahan dengan lompatan yang begitu besar.
Wajar bila investor semakin kawatir dan publik juga merasakan ada yang tidak beres dengan ekonomi rupiah. Namun ini lebih sering disikapi pemerintah dengan santai, responnya sering terlihat meremehkan kondisi yang ada. Pemerintah dalam hal ini tim ekonomi, merasa fundamental ekonomi masih kuat dan semua akibat dari faktor eksternal.
Mungkin pendapat pemerintah ada benarnya, karena rupiah pernah mengalami level terburuk, dengan indikator ekonomi yang masih lebih baik dari kondisi sebelumnya. Namun bila melihat ke dampak yang ada, nampaknya respon pemerintah ini bisa dianggap kurang responsif. Dampak dari pelemahan rupiah ini sudah mulai terasa di berbagai sisi kehidupan ekonomi. Situasinya sudah boleh dibilang semakin memburuk.
Bila melonggok ke tahun 1998, dimana rupiah jatuh dalam waktu singkat dan bisa bangkit dengan segera. Ini karena faktor politik yang memicu, begitu konsolidasi terjadi, rupiah bisa kembali menguat. Demikian pula dengan tahun 2008 saat terjadi krismon, periode pelemahan dan penguatan bisa dilakukan dengan cepat.
Waktu itu ekonomi memang sedang bergejolak dan semuanya dimulai dari luar atau faktor eksternal. Namun dengan sigapnya Sang arsitek ekonomi Sri Mulyani bisa membawa ekonomi bangkit dan rupiah bisa menguat dengan segera, bahkan bisa menembus level terbaik rupiah semenjak krismon. Ini karena kinerja ekspor yang luar biasa hingga bisa tembus level psikologis ekspor lebih dari 200 milyar dollar, level tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Namun setelah kepergian Sri Mulyani ke Bank Dunia, reformasi ekonomi yang sudah dijalankan mengalami setback. Kinerja ekspor mengalami penurunan secara pasti dan ini diikuti dengan pelemahan rupiah pula. Bila dilihat di grafik perjalanan rupiah, tampak terlihat pola yang pasti, rupiah melemah secara konstan dan mengalami akselerasi pada beberapa bulan yang lalu.
Puncaknya tentu saja saat rupiah mengalami akselerasi pelemahan hingga membuat banyak kalangan semakin kawatir. Apapun kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah tak memberikan efek sama sekali. Rupiah justru semakin liar, bisa jadi kebijakan yang ada malah menjadi katalis bagi akselerasi pelemahan rupiah.
Banyak kalangan melihat kebijakan pemerintah sudah salah arah, hingga menimbulkan dampak ekonomi yang lebih buruk. Pelemahan rupiah memang sudah meningkatkan resiko berinvestasi, ini membuat iklim investasi menjadi beresiko. Wajar bila terjadi pelarian modal asing di pasar keuangan. IHSG terlihat terjadi aksi jual oleh investor asing terus menerus.
Bila kondisi ini tidak diatasi dengan segera, maka ada kemungkinan ekonomi bisa semakin terpuruk. Bukan tidak mungkin ekonomi akan menjadi krisis, soalnya tak ada yang tahu pasti sampai dimana batas pelemahan rupiah ini. Perbankan yang menjadi motor ekonomi katanya masih kuat bila rupiah sampai 18 ribu terhadap dollar.
Namun ini menandakan pasar atau faktor eksternal dibiarkan begitu saja mendikte perekonomian kita. Kita harusnya jangan mau diperlakukan seperti itu oleh pasar. Pemerintah harusny bisa berkaca pada pengalaman Sri Mulyani mengangkat rupiah ke level terbaiknya dengan mengenjot kinerja ekspor.
Ini harusnya bisa dilakukan oleh pemerintah, dengan menggunakan anggaran yang berlimpah untuk mengenjot kinerja ekspor. Banyak kalangan menilai proyek infrastruktur yang dijalankan tak lebih dari proyek mercusuar, ini mengingat kondisi rupiah yang tertekan dan harusnya menjadi prioritas dalam menahan pelemahan rupiah. Perbaiki dulu kondisi keuangan rupiah sebelum membangun infrastruktur.