Kejatuhan rupiah sudah cukup dalam hingga terpuruk ke level terburuknya sejak krismon 1998. Suatu kemunduran ekonomi yang cukup dalam, terasa sulit bagi rupiah untuk bangkit. Ini mengingat indikator ekonomi tidak menggembirakan dan menjadi beban bagi rupiah untuk bangkit.
Inflasi tinggi sudah dibuat dengan sengaja saat menghapus subsidi BBM. Bukan berarti penghapusan subsidi BBM salah, tapi waktunya yang tidak tepat. Saat kondisi fiskal sedang memburuk dan rupiah dalam tekanan, menghapus subsidi BBM ibaratnya mematik api di kayu kering. Dengan mudah menimbulkan rentetan gejolak ekonomi pada rupiah.
Inflasi tinggi memang momok bagi ekonomi, di Negara maju inflasi selalu ditekan serendah mungkin dan menjadi prioritas dalam kebijakan ekonomi. Mungkin pemangku kebijakan tidak menyadari atau tidak tahu, bahwa tindakan mereka menghapus subsidi BBM pada waktu yang tidak tepat bisa membuat kekacauan di perekonomian rupiah. Bisa saja mereka sedang melakukan “trial and error”, tapi tak mengerti bahwa kondisinya tidak bisa dikembalikan lagi seperti semula.
Inflasi tinggi adalah pembunuh rupiah yang kejam, apalagi angkanya melebihi nilai pertumbuhan ekonomi. Ini berarti ekonomi mengalami penyusutan, bisa berarti kemunduran ekonomi yang membuat ekonomi rupiah tidak menarik untuk investasi. Ada reaksi berantai, dan tidak ada “excuse” dalam sebuah perekonomian.
Akibat dari inflasi tinggi ini selain membunuh rupiah, menurunkan daya beli masyarakat, membuat miskin banyak orang. Bolehkah pembuat miskin banyak orang dipidana? Hal yang mungkin tidak dipikirkan cukup dalam oleh pembuat kebijakan.
Rupiah juga terbebani oleh kondisi industri yang melemah, ini disebabkan aturan impor yang tidak melindungi industri dalam negeri. Barang impor yang murah, membuat industri dalam negeri tidak diuntungkan untuk tetap hidup. Industri kita memang berbiaya tinggi, hingga produknya tidak kompetitif di pasar dalam negeri, apalagi di pasar internasional.
Saat rupiah melemah harusnya memang ekspor dan surplus perdagangan bisa naik tajam. Namun kenyataannya produk industri masih kalah bersaing dan tidak memberi dorongan untuk penguatan rupiah. Kebijakan impor yang semrawut memang menjadi akar kerusakan industri dalam negeri.
Rupiah juga tertekan dengan program pembangunan infrastruktur besar-besaran. Diduga beberapa proyek tersebut adalah proyek mercusuar, yang membutuhkan dana besar dan membebani anggaran Negara. Sudah “bokek” tapi masih punya nafsu membangun yang besar, ini membuat rupiah semakin tertekan.
Peluang rupiah untuk bangkit memang sangat tipis, ini karena faktor penghambatnya sangat banyak dan berat. Apalagi dengan kebijakan yang tidak berubah, dipastikan rupiah bisa semakin jatuh. Memang membangun sebuah perekonomian bisa butuh waktu yang panjang dan melelahkan, namun untuk merusaknya bisa dilakukan dengan sekejab.