Sayang sekali tender pengadaan kereta cepat hanya diikuti oleh dua peserta, yaitu Cina dan Jepang. Padahal lebih banyak peserta akan bisa menimbulkan persaingan yang sehat, soalnya banyak teknologi kereta cepat yang mumpuni, seperti dari Jerman, Prancis dan Inggris. Selama ini tidak ada patokan yang diberikan oleh pemerintah, hal yang membuat tender kereta cepat ini menjadi tidak efektif.
Mungkin ini karena tender pembangunan kereta cepat pertama sehingga pemerintah masih belajar dan meraba-raba keinginan yang belum tergambar. Apalagi pemerintah tidak memiliki dana untuk membangun proyek mercusuar ini. Semakin membuat peserta tender juga bingung dengan apa yang akan dijual.
Bila dilihat dari system pendanaan, nampaknya pihak Jepang lebih unggul. Mereka menawarkan pinjaman kredit lunak 4,4 milyar dollar atau 60 trilyun rupiah dengan tenggang pengembalian 40 tahun dan bunga di bawah satu persen. Sedang Cina menawarkan lebih besar 5,5 milyar dollar atau 74 trilyun dengan tenggang pengembalian 50 tahun dan bunga 2 persen. Dari sisi bunga saja pinjaman kredit jepang lebih murah dan ekonomis.
Namun persoalan tidak diketahui berapa biaya membangun kereta cepat ini, masing-masing menyimpan besarnya biaya proyek kereta cepat ini di depan publik. Bila menggunakan skema pinjaman kredit jangka panjang dan harus dibayar pertahun beserta bunganya, mau tidak mau Negara harus menyuntikan dana untuk menalangi pengembalian pinjaman sampai proyek kereta cepat ini menghasilkan.
Suatu yang “omdo” saat berbicara bahwa kereta cepat ini tidak menggunakan uang Negara. Ini menginggat butuh waktu cukup panjang sampai kereta cepat ini menghasilkan, bisa tiga, empat atau lima tahun lebih proyek ini baru bisa kelar. Belum lagi proses pembebasan lahan yang biasanya menjadi momok dan membuat proyek menjadi molor. Semakin molor akan memberatkan keuangan Negara dan bisa mengganggu ketahanan rupiah.
Dalam hal alih teknologi nampaknya Cina lebih unggul dari Jepang. Dari beberapa kesempatan orang penting di Beijing menawarkan kerjasama dalam segala aspek, baik teknologi, tenaga kerja hingga tawaran membentuk joint venture company yang akan menanggung keseluruhan proyek kereta cepat ini. Disini terlihat proses alih teknologi akan berjalan, meskipun ini bergantung pada kemampuan kita untuk menyerap teknologi kereta cepat.
Seperti diketahui kita memiliki jaringan industri manufaktur pendukung yang lemah. Apapun tawaran alih teknologi atau TOT hingga 100 persen sekalipun tidak akan berjalan dengan kondisi industri manufaktur yang lemah ini. Padahal kita memiliki rencana membangun jaringan kereta cepat di banyak tempat, akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi bila semua komponen pembangunan berasal dari impor.