Pilkada serentak yang tujuannya untuk menghemat anggaran dalam penyelenggaraan pesta demokrasi ini, mulai terlihat tidak menarik dan tidak efektif. Ini karena metode evaluasi kandidat masih primitif dan lembaga penilai juga masih minim. Pilkada tak lebih dari pengesahan hasil pencitraan media.
Selama ini mereka yang terpilih atau terpilih kembali tidak memiliki prestasi dalam mengembangkan daerahnya. Prestasi mereka juga tidak terukur, karena tidak terekam berapa besar pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan industri. Selama ini yang terekam adalah prestasi memperindah taman kota, tersorot media saat bersih-bersih atau turun dekat masyarakat.
Memang model pencitraan masih menjadi landasan pesta demokrasi kita. Suatu yang tidak dipikirkan akan terjadi saat perumusan undang-undang pemilu. Tidak ada mekanisme yang terbaik untuk menghentikan calon kepala daerah yang memang tidak berprestasi.
Selama ini mereka yang popular di media akan dengan mudah terpilih, mereka yang biasa “blusukan” akan menjadi “media darling” dan dengan mudah menang pemilu. Padahal prestasi seorang kepala daerah bukan dari itu. Prestasi kepala daerah seharusnya bisa terukur dan terlihat secara riil.
Seorang kepala daerah bisa dianggap berprestasi bila bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Ini bisa dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi, indikator inflasi, angka pengangguran, pertumbuhan investasi, pertumbuhan industri dari daerah tersebut. Ini juga akan terlihat secara rill dari angka urbanisasi dari daerah tersebut, meningkatnya daya beli masyarakat dan kesejahteraan rakyatnya.
Jadi tidak akan ada dana nganggur yang begitu besar dari daerah yang ditimbun di surat utang, karena memang akan digunakan untuk memutar perekonomian daerah tersebut. Selama ini pemda atau pemerintah daerah malah mengandalkan keuntungan dari bunga pada surat utang. Suatu manajemen ekonomi yang buruk, memilih menjadi juragan daripada seorang industrialis.
Memang perputaran uang menjadi terpusat di kota besar, karena kepala daerah tidak bisa mengembangkan ekonomi daerahnya. Wajar bila angka urbanisasi di kota besar masih tinggi. Soalnya memang tak ada kepala daerah yang bisa memutar uang menjadi sesuatu yang menghasilkan.