Sejak awal tahun ini sampai kuartal kedua, rupiah sudah susut hampir 7 persen. Posisi rupiah sudah mendekati angka 14 ribu. Jangankan baik ke 10 ribu, untuk balik ke 12 ribu saja kemungkinannya sangat kecil sekali. Kenapa rupiah tidak mungkin balik lagi ke angka terbaik 10 ribu seperti yang dijanjikan?
Kondisi perekenomian yang lesu membuat investor banyak yang mengalihkan modalnya ke tempat lain yang lebih baik hasilnya. Ini wajar dalam hukum ekonomi, siapapun tidak akan mau berinvestasi dengan hasil minimal bahkan rugi. Lebih baik menempatkan dana di investasi yang lebih menguntungkan.
Lihat saja ada net minus dalam aliran dana investasi selama beberapa bulan terakhir. Rupiah begitu tertekan hingga BI sampai kewalahan mengerahkan cadangan devisa untuk meredam gejolak rupiah. Ini bisa dilihat dari posisi cadang devisa yang menurun.
Bila posisi cadangan devisa sudah mepet, jelas akan sulit intervensi ke pasar. Ada yang bilang ini ulah spekulan yang menggoreng rupiah, tapi mereka yang bilang ini tidak pernah melihat kondisi fundamental rupiah yang rapuh. Sebaiknya jangan salahkan orang berinvestasi, investor akan mencari peluang yang ada.
Disini perlu memperbaiki fundamental rupiah yang rapuh, lihat saja kemana larinya uang hasil penghapusan subsidi BBM. Katanya sih untuk pembangunan, tapi kenapa utang luar negeri bertambah lebih besar. Bukannya belum cukup dana dari penghapusan subsidi BBM.
Nampaknya euphoria membangun sudah tak terkontrol, hingga harus memperbesar hutang dan menggunakan dana penghapusan subsidi BBM buat membangun pula. Akibatnya inflasi akibat penghapusan subsidi BBM tidak ditangani dengan baik, ditambahi lagi dengan beban utang, maka wajar bila rupiah keok.
Banyak ahli yang mengkuatirkan tekanan terhadap rupiah yang semakin berat akibat pembangunan besar-besaran seperti listrik 35 ribu megawatt, jalan tol dan infrastruktur lainnya. Ini bisa membuat rupiah melemah lebih dalam. Ingat kejatuhan ringgit era 2000-an akibat proyek mercusuar seperti petronas, cibercity, yang menyedot anggaran Negara dan kejatuhan dollar Zimbabwe yang juga karena inflasi tak terkontrol.
Juga tanda fundamental rupiah yang rapuh adalah tidak membaiknya kinerja ekspor meski rupiah sudah melemah. Banyak yang bilang rupiah melemah menguntungkan eksportir, tapi eksportir yang mana. Mungkin saja eksportir bahan mentah, tapi bukan sector industri, yang masih impor bahan bakunya.
Rupiah mungkin terlalu pede dengan kerja, kerja dan kerja akan memperbaiki ekonominya. Ini mungkin baik, tapi tidak benar dalam pengelolaan keuangan Negara. Inflasi tinggi harusnya dikontrol dengan mengurangi belanja Negara, meski pembangunan penting, bila angka pertumbuhannya kalah dengan inflasi, buat apa membangun.