Ada hal yang menarik bila bicara tentang Merpati, maskapai penerbangan yang sudah berpengalaman, tapi selalu tekor keuangannya. Selalu merugi setiap tahunnya, hingga banyak yang “bosan”. Mau ditutup “sayang”, mau dibikin terbang selalu rugi dan menghabiskan banyak uang rakyat dan para kreditor.
Boleh dibilang ada hal yang aneh pada kondisi Merpati ini, di saat industri penerbangan sedang booming, di saat banyak maskapai baru yang berkembang pesat, Merpati malah memilih “anggrem” daripada terbang, anggrem disini istilah untuk burung yang mengerami telurnya. Memang Merpati memiliki beberapa divisi usaha sehingga mungkin terlalu repot mengaturnya, sehingga sulit mendapatkan profit, selalu menutup kerugian dari beberapa divisi usahanya.
Padahal industri penerbangan sedang booming, angka pertumbuhan penumpang cukup fantastis. Bahkan beberapa maskapai pendatang baru, sudah ramai-ramai indent dan beli pesawat baru. Juga kabarnya prosentasi pada okupansi Merpati cukup tinggi, namun kenapa selalu tekor melulu.
Bisa jadi publik maupun rakyat sebagai stakeholder, melalui tangan pemerintah sudah “bosan” dengan kondisi ini, seakan tidak ada gunanya diinjeksi modal setiap tahunnya. Hutangnya yang sudah melebihi 6,5 T bukan tidak sedikit, 6,4 T ini bisa bikin jalan dengan pondasi beton hampir 800 kilometer. Bisa buat menekan angka inflasi akibat infrastruktur jalan yang buruk.
Namun bila Merpati ditutup juga “sayang”, maskapai satu ini sudah banyak pengalamannya dalam mengelola jalur perintis di seluruh Indonesia. Maskapai ini memiliki jalur yang banyak tidak pernah dilalui oleh maskapai lainnya. Merpati memang menjadi harapan bagi penumpang di beberapa rute, yang memang tidak pernah disentuh oleh maskapai lainnya.
Jadi apa yang harus dilakukan agar Merpati lebih suka terbang lagi?
Memang tidak mudah merubah mindset maskapai yang sudah terbelenggu dengan persoalan yang sama setiap tahunnya. Bisa jadi diganti dengan seorang CEO yang handal akan sama hasilnya. Banyak persoalan di dalam tubuh Merpati yang sulit diselesaikan oleh CEO seorang diri.
Perlu peran seluruh komponen dalam diri Merpati dalam mengatasi masalah yang membelenggu ini. Ada orang bilang perlu perubahan, meskipun sebenarnya Merpati sudah berubah dan berkompetisi secara aktif dengan pesaingnya. Hanya memang Merpati terlalu lama berbisnis, sehingga terlalu banyak yang dikelola.
Bila memang banyak stakeholder yang ingin menutup Merpati karena sudah bosan menyuntik dengan uang rakyat yang tidak sedikit. Maka lebih baik memberi kesempatan pada Merpati untuk berbenah diri secara radikal. Bukan dalam arti perubahan, namun lebih focus dengan core bisnis yang mendasari. Merpati harusnya lebih menekuni bisnis utamanya dan mengesampingkan bidang usaha yang selalu merugi dan tidak memiliki kontribusi bagi bisnis utamanya.
Ini memang seperti kembali ke titik nol dalam berbisnis di industri penerbangan. Namun dengan modal pengalaman yang tinggi dan suntikan dana dari melego divisi usaha yang tidak profit, diharapkan bisa memberi dorongan baru bagi Merpati untuk tumbuh. Bila ini masih tetap merugi lagi, memang berarti Merpati lebih suka “anggrem” daripada terbang dan tidak ada salahnya bila ditutup.