Memang untuk kesekian kalinya rupiah akan melemah dengan hebatnya, sama saat rupiah tergerus dari 9 ribuan menjadi sebelas ribuan. Nampaknya gelombang tsunami memang akan datang dengan pasti, BI terlihat cukup waspada dengan menaikan BI rate. Meskipun sebenarnya tidak pernah menyentuh akar persoalan yang membuat rupiah melemah lagi.
Banyak sentiment negative yang membayangi pergerakan rupiah, dan nampaknya sang pengambil kebijakan sudah “helpless” atau mungkin “hopeless” dalam melihat persoalan yang ribet ini. Memang separuh dari persoalan rupiah melemah bukannya persoalan ekonomi. Meskipun bisa saja bila dicapai kompromi membawa persoalannya ke masalah ekonomi.
Sudah sejak lama rupiah dibayangi pelemahan yang kronis, sejak krismon sampai periode reformasi tidak banyak mengalami perubahan. Ada perubahan tapi tidak mendasar, ini yang membuat rupiah mudah terombang-ambing. Bila dilihat dari rasio utang, prosentasenya masih lebih baik dengan Spanyol, namun dalam hal kekuatan rupiah masih kalah. Ini menandakan ada faktor serius di belakang perekonomian ini.
Iklim investasi yang tidak pernah diperbaiki adalah persoalan utama, padahal investasi adalah penggerak ekonomi dan pilar dari kekuatan rupiah. Bila orang sendiri saja sudah segan berinvestasi apalagi dengan investor asing. Persoalan pungli, ruwetnya birokrasi adalah akar permasalahan yang tidak pernah diperbaiki. Apa gunanya membayar pajak, bila masih ada tarikan di sana-sini, uang pelicin, aturan yang tidak jelas menjadi penyebab suburnya pungli ini.
Meskipun pada hakikatnya sangat mempengaruhi iklim investasi secara keseluruhan. Ada hal mencengangkan, kenapa persoalan pungli dan aturan yang tidak jelas ini tidak pernah diselesaikan? Apakah memang mereka tidak bekerja sama sekali atau memang sudah tidak bisa memperbaiki situasi yang sudah kronis ini, sehingga wajar bila banyak dollar yang diparkir di luar negeri.
Hal ini membuat pelemahan rupiah menjadi sesuatu yang akan selalu terjadi. Hal lain yang juga tak kalah penting adalah persoalan konsumsi minyak bumi yang begitu mengerus devisa Negara. Tata kelola minyak bumi ini juga masih tidak pernah ditentukan kebijakannya, bahkan ditarik ke persoalan politis. Wajar bila konsumsinya membengkak dan menjadi beban rupiah, padahal angka produksi minyak yang cukup tinggi bisa menjadi modal ekonomi.
Bila dibandingkan dengan Negara lain yang tidak memiliki produksi minyak, justru memiliki tata kelola minyak yang lebih baik dan tidak menjadi beban ekonomi. Memang minyak bumi adalah komponen utama dari ekonomi, perubahan harganya akan mempengaruhi kondisi ekonomi secara keseluruhan. Namun rupiah begitu terpukul saat harga minyak berubah, padahal harusnya bisa menikmati dari perubahan ini, karena memiliki produksi minyak yang cukup tinggi.
Sebenarnya banyak yang ahli ekonomi, namun tidak memiliki peran strategis dalam mengelola perekonomian, maka bila rupiah melemah lagi bukannya hal besar, karena memang kenyataannya seperti itu. Selama hal fundamental tidak diperbaiki, maka rupiah bisa bergoyang ke rekor baru yang bisa melebihi saat krismon. Bisa jadi redenominasi rupiah bukanlah hal yang berguna, hanya bertahan sementara dan rupiah akan kembali membesar angkanya. Persoalan rupiah bukan di angka nol yang banyak, tapi iklim investasi yang tidak diperbaiki, tata kelola minyak yang tidak pasti adalah sekian hal besar yang harus diperbaiki dulu sebelum redenominasi rupiah.