Upah buruh memang menjadi masalah rumit yang tidak akan bisa diselesaikan. Biasanya akan terjadi proses tawar-menawar, tarik menarik sehingga tercapai kesepakatan UMR atau Upah Minimum Regional. Namun apakah benar upah buruh murah sudah tidak relevan atau bukan zamannya lagi?
Memang perlu garis tegas untuk berdiri disisi ekonomi dibandingkan melihat dari kaca buruh maupun kaca pengusaha. Jelas keduanya akan sulit mencapai titik temu dalam menghitung besaran UMR atau upah buruh. Masing-masing pihak tentunya akan berkeras dengan kepentingannya sendiri. Persoalan harus dikembalikan ke sisi ekonomi, dimana semuanya menjadi bagian dari komponen ekonomi.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menempatkan sisi ekonomi sebagai tolok ukur dalam menentukan upah buruh. Meskipun lebih cocok disebut ongkos produksi, namun terlihat lebih politis dengan upah buruh. Apapun sebutannya selama persoalannya ditarik ke penyampaian suara akan selalu menjadi persoalan politis, hal inilah yang membuat masalah upah buruh ini menjadi tidak pernah selesai sampai kapanpun.
Memang ada kepentingan besar dari pengusaha yang akan selalu berusaha menekan ongkos produksi, biasanya pada komponen yang fleksibel akan menjadi cara termudah untuk mengaturnya. Upah buruh nampaknya masuk dalam kategori ini, padahal bila sudah masuk dalam komponen produksi harusnya mengikuti pola kurva atau rasio produksi. Saat kurva atau rasio produksi sedang naik maka upah akan naik, demikian pula sebaliknya.
Penghitungan model ini memang terlalu idealis dan sulit dicari tolok ukur yang pasti. Akibatnya akan terlalu rumit untuk dijalankan dan jarang ada yang menggunakan model begini. Namun ini sebenarnya bisa menjadi solusi bagi kebuntuan atau menekan kerugian akibat keputusan yang dipaksakan. Memang dilemma, namun lebih positif dibandingkan dengan teknis yang dilakukan saat ini.
Menghitung upah buruh berdasarkan kebutuhan minimal jelas bukanlah hal yang logis. Penghitungan model begini merugikan buruh dan juga pengusaha itu sendiri. Memang harus ada aturan untuk menetapkan upah buruh minimal, tapi bukan dengan tolok ukur di luar biaya produksi.
Andai model upah minimal berdasar kebutuhan pokok ini tetap dipaksakan, akan banyak perusahaan yang memindahkan lokasi produksi ke pelosok daerah. Jelas akan menurunkan efisiensi produksi, namun pengusaha bisa keluar dari biaya produksi yang tinggi dan buruh memang mendapatkan apa yang diinginkan. Bukan win-win solution, tapi loss-loss solution.
Memang harus ada langkah strategis menarik persoalan ekonomi dari jalur politis. Bila upah buruh dikembalikan ke awal sesuai dengan proses produksi, akan meningkatkan efisiensi produksi, menghindari kerugian akibat demo yang berkepanjangan. Tentunya akan membuat perusahaan menjadi sangat kompetitif. Mungkin waktu yang akan membentuk system pengupahan menjadi lebih produktif, adil, tanpa merugikan kedua belah pihak yang berkepentingan ini.