Permasalahan kredit macet sudah menjadi hal umum dan bisa terjadi dimanapun. Persoalannya memang menjadi ruwet saat terjadi perselisihan dalam masalah kredit yang macet. Meskipun harusnya kembali ke perjanjian kredit yang sudah disepakati, namun dalam banyak kasus terjadi di luar yang tertulis di perjanjian, atau di luar klausul dan masing-masing memandang dari sisi yang berbeda.
Memang bisa saja diselesaikan secara hukum lewat peradilan, biasanya memiliki proses yang panjang. Namun sebenarnya bisa ditinjau lagi untuk dicapai kesepakatan antara debitur dan pihak lembaga keuangan. Kredit yang bermasalah ini bisa dikompromikan dengan win-win solution, tanpa melalui lembaga peradilan.
Dalam banyak kasus beberapa lembaga keuangan memang menunjuk pihak ketiga untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah. Meskipun hasilnya cukup lumayan, namun dalam kenyataan terjadi hal-hal di luar perkiraan. Persoalan baru timbul karena memang peran negosiasinya menjadi sepihak atau tidak dicapai kesepakatan. Debt collector dan sejenisnya adalah hal yang timbul semenjak merebaknya kredit bermasalah.
Padahal bisa saja kesepakatan kredit yang terjadi sudah cacat sejak awal, terutama kredit tanpa anggunan atau jaminan yang memiliki resiko tinggi untuk macet. Memang saat penilaian atau penaksiran masih human to human akan selalu ada wanprestasi, korupsi, yang menandakan masih lemahnya infrastruktur lembaga keuangan tersebut. Meskipun memang akan selalu ada celah untuk suatu system yang sudah dibentuk dan dijalankan.
Renegosiasi kredit
Saat kredit sudah dinyatakan bermasalah atau macet memang akan bergantung dengan perjanjian yang sudah disepakati. Bisa jadi karena gagal bayar, tidak teratur pembayarannya, yang menjadikan sebuah kredit dikatakan macet. Dalam hal masih ada keinginan dari debitur untuk membayar kredit, biasanya bisa direnegosiasikan perjanjian kredit atau dikenal rekstrukturisasi kredit. Namun persoalannya kadang tidak sesederhana yang diinginkan.
Persoalan jaminan kredit, bunga kredit, riwayat debitur adalah banyak hal yang membuat renegosiasi kredit bisa tidak menemui titik temu. Memang mau apa lagi toh jaminan kredit bisa dijual dan menutupi sisa kredit yang ada. Namun persoalannya kadang juga bisa memakan waktu lebih lama, maka disini sebenarnya restrukturisasi kredit bisa menjadi win-win solution yang menguntungkan kedua belah pihak.
Pihak debitur bisa saja meminta memanjangkan tenggang kredit, menurunkan suku bunga kredit, atau bisa juga top-up kredit bila dimungkinkan. Hal ini memang akan bergantung dengan kondisi yang sedang berjalan. Biasanya pihak lembaga keuangan juga berjuang menurunkan angka NPL atau Non Performing Loan yang menjadi alarm bagi kesehatan bank tersebut, maka renegosiasi kredit adalah penyelesaian kredit macet yang tepat.
Penyelesaian kredit lewat jalur hukum
Memang bila sudah tidak bisa dicapai titik temu, maka mau apa lagi untuk diselesaikan secara negosiasi. Biasanya ada persoalan mendasar di klausul perjanjian kredit, bisa jadi anggunan terlalu rendah dari kredit yang diberikan, anggunan dalam sengketa dengan pihak lain, dalam hal ini memang sudah diluar persoalan kredit yang mendasari. Namun tetap saja negosiasi kredit lebih diutamakan.
Pihak lembaga keuangan atau bank kemudian bisa menggugat pihat debitur yang gagal bayar ini dengan tuntutan anggunan yang menjadi jaminan kredit. Bila anggunannya juga dalam sengketa persoalannya bisa menjadi lebih luas. Biasanya bila bukt-bukti menguatkan pihak bank, maka puusan sita anggunan akan dilakukan., dan esksekusi barang jaminan bisa dilakukan. Namun dalam hal ini pihak bank memiliki dua kerugian, modal kredit belum tentu kembali dan NPL naik yang bisa menurunkan kesehatan dan kepercayaan pada bank tersebut.