Ada banyak alasan orang tidak begitu suka menyimpan rupiah dan lebih menyimpan dollar. Bukan berarti ini tidak nasionalis, persoalannya memang terletak di kualitas ekonomi rupiah yang tidak menguntungkan. Nilainya memang tidak berharga, bahkan beberapa pengamat ekonomi mengkategorikannya dengan “sampah”.
Hal ini lumrah karena rupiah tidak laku diperdagangkan di luar negeri, banyak money changer yang engan menerima penukaran rupiah. Persoalannya memang pada nilainya yang cenderung turun terus. Juga terlalu banyak memakan tempat dan tidak memberi keuntungan yang berarti.
Demikian juga dengan pelaku bisnis di dalam negeri, kebanyakan usaha mereka kurang menguntungkan di dalam negeri. Mereka lebih suka berbisnis di Negara tetangga yang lebih menguntungkan, akibatnya mereka lebih membutuhkan dollar ketimbang rupiah. Memang tidak bisa disalahkan sebagai tidak nasionalis, karena memang ini bisnis, siapa yang mau berbisnis yang tidak menguntungkan.
Ada persoalan mendasar yang membuat iklim berbisnis maupun berinvestasi di dalam negeri kurang menguntungkan. Aturan yang kurang jelas, birokrasi yang ruwet, pungutan liar adalah persoalan utama yang tidak pernah diselesaikan. Aturan dan regulasi usaha memang ada, namun peruntukan aturan itu tidak jelas, sehingga rawan pungutan liar. Banyak otoritas birokrasi yang menyalahgunakan aturan untuk memperkaya diri mereka.
Ini sudah menjadi rahasia umum dan tidak pernah diatasi oleh sang pengambil kebijakan ekonomi. Mereka lebih melihat hal makro dan tidak pernah menyelesaikan persoalan ekonomi yang mendasar tersebut. Saat rupiah dalam tekanan, mereka segera turun ke pasar uang, memperbanyak transaksi rupiah. Ini hanya mengatasi gejala tanpa pernah menyelesaikan persoalan utama, yaitu iklim investasi yang tidak kondusif.
Boleh saja berbangga dengan capaian nilai investasi sesuai target, namun kenyataan di lapangan berbicara lain. Bila ada aliran investasi ke dalam negeri, tentunya dollar akan membanjiri di dalam negeri. Buktinya dollar sangat sedikit sekali di dalam negeri, bahkan angkanya sangat kecil bila dibandingkan dengan yang dimiliki Negara gurem di sebelah.
Memang bagi pelaku usaha yang menekuni bisnis di dalam negeri, yang mencintai negeri ini melihat persoalan ini sangat menjengkelkan. Bagaimana otoritas ekonomi dengan dana yang luar biasa tidak bisa melakukan pembenahan iklim investasi. Sampai kapan pungutan liar masih dibiarkan, sampai kapan birokrasi yang korup masih dibiarkan. Bila ini dibiarkan terus, hanya masalah waktu rupiah akan tertekan dan terjun payung ke level yang lebih rendah lagi.
Jadi bila pelaku bisnis menganggap rupiah adalah “sampah” bukannya tidak nasionalis, karena memang otoritas ekonomi tidak pernah bekerja dalam memperbaiki iklim investasi. Bisa jadi mereka tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan ekonomi yang ada. Namun kenapa masih kukuh bertengger di kursi mereka, segera berikan pada yang bisa memperbaiki iklim investasi, ini baru namanya nasionalis.