Gejolak rupiah masih belum berakhir, rupiah terus melemah meski pemerintah sudah berjibaku menahannya. Pemerintah biasanya akan menyalahkan kondisi global atau faktor eksternal yang mengalami perlambatan. Atau dengan membandingkan Negara lain yang lebih buruk mata uangnya dari rupiah.
Namun kondisi pelemahan yang terus menerus ini disikapi oleh pasar dan investor dengan kawatir. Persoalannya investasi mereka sudah susut cukup banyak, dengan rupiah melemah praktis nilai investasi juga ikut merosot. Hal ini memang kontradiksi dengan sikap pemerintah yang santai, dengan alasan pondasi ekonomi masih kuat.
Tentunya ini membuat kesabaran investor makin terkikis, wajar bila terjadi terus-menerus aksi jual di pasar saham. Diperkirakan performa IHSG menjadi yang terburuk tahun ini, dengan susut lebih dari 18 persen. Jauh sekali dengan kondisi tahun sebelumnya.
Nasib investasi di pasar keuangan ini memang mengikuti performa rupiah yang jeblok. Lalu apa yang sebenarnya membuat rupiah terus melemah dan tidak kompetitif?
Banyak pandangan yang menilai tingginya inflasi akibat penghapusan subsidi BBM menjadi awal mula kejatuhan rupiah. Meskipun sebenarnya rupiah sudah melemah secara konstan sejak 2012, lihat di grafik pelemahan rupiah, akan terlihat pelemahan rupiah yang konstan semenjak kinerja ekspor merosot pada tahun 2012. Sedang inflasi tinggi hanya sebagai katalis bagi kejatuhan rupiah lebih dalam.
Bisa jadi pondasi ekonomi sudah melemah sejak tahun 2012 dan pemerintah sampai saat ini tak mampu memperbaikinya. Andai ekspor digenjot secara optimal mungkin masih akan sulit diharapkan keberhasilannya, ini mengingat kondisi ekonomi global sedang melambat. Namun bukankah pemerintah masih bisa menahan laju impor sehingga tercapai neraca perdagangan yang positif?
Harusnya langkah ini bisa dilakukan, namun kondisi tata kelola pedagangan juga masih semrawut. Banyak kasus ijin impor yang tumpang tindih dan terlihat tidak melindungi industri nasional. Pemerintah lebih cepat melakukan impor demi melindungi angka inflasi yang sudah tinggi, bahkan sampai kasus dwelling time mengemuka, yang menjadi sorotan ijin impornya yang lambat, bukan persoalan perlindungan industri nasional yang jadi tumpuannya.
Dengan melihat realita ini maka wajar pasar maupun investor menjadi pesimis akan kondisi perekonomian. Bila mereka mengalihkan investasinya di luar portofolio rupiah, ini sudah pantas terjadi. Rupiah sudah beresiko tinggi buat berinvestasi, tidak menguntungkan dan tidak kompetitif lagi, ini penilaian investor dan pemerintah harusnya bisa melihat dari sudut pandang investor.