Bila mengacu pada peraturan yang ditetapkan oleh BPN, sebenarnya mengurus sertifikat tanah cukup mudah dan hanya butuh waktu di kisaran 100 hari atau tiga bulanan. Namun formalitas ternyata berbeda dengan yang ada. Kebanyakan hambatan yang terjadi dari sisi birokrasi yang tidak transparan dan celah yang dimanfaatkan oleh perangkat terkait.
Juga seringkali sudah keluar uang banyak, eh surat mentok dan tertahan serta tak ujung usai atau keluar. Permasalahannya juga berasal dari tanah yang dibeli ternyata tidak memiliki surat resmi. Akibatnya dipingpong sana-sini oleh pihak administrasi.
Memang disini mentalitas pegawai atau perangkat adalah penguasa dan preman, sehingga tak ada uang tak akan jalan. Padahal bila dibandingkan di Negara maju lebih jelas aturan dan lebih membantu daripada menghambat. Makanya ada istilah administrasi, yang artinya lebih membantu menyelesaikan persoalan daripada menghambatnya atau menyalahgunakan wewenangnya demi segepok uang.
Ada perbedaan jauh saat mengurus surat sertifikat tanah yang sudah ada atau resmi seperti SHM/HGB/HGU dengan surat tanah tidak resmi seperti petok D atau letter C. Namanya juga resmi, jelas mengikuti prosedur dan biayanya sudah cukup jelas. Namun untuk yang tidak resmi jelas sangat berliku dan panjang dan belum tentu usai.
Saat membeli sebuah rumah di perumahan, semua pengurusan surat tanah diselesaikan oleh pihak developer. Juga waktunya tak lebih tiga bulan dari saat jual beli, surat tanah SHM/HGB tersebut sudah ditangan. Disini biayanya juga tak beda jauh dengan aturan yang tertulis di kantor BPN.
Namun saat membeli rumah di sebuah kampung yang belum memiliki sertifikat tanah resmi, hanya berupa petok D, ternyata membuat masalah baru yang tak kunjung usai. Makanya orang antipati dengan membeli rumah yang belum memiliki sertifikat tanah resmi, karena sama saja dengan membeli sebuah masalah. Wajar pula harganya miring dan lebih murah dari rumah yang sudah ada sertifikatnya.
Pihak BPN sebenarnya sudah membuat aturan untuk mengurus surat tanah yang jelas persyaratannya, yaitu
- Foto Copy Akta Jual Beli tanah
- Foto Copy KTP dan KK atau Kartu Keluarga
- Foto Copy PBB atau Pajak Bumi dan Bangunan
- Surat keterangan letak dan penggunaan tanah yang disahkan oleh desa
- Surat Pernyataan Tanah Tidak Dalam Sengketa disahkan oleh desa
- Surat Pernyataan Tanah Dikuasai Secara Fisik yang disahkan oleh desa
Surat-surat tersebut diserahkan ke kantor BPN terdekat untuk mendapatkan SK hak atas hak pemberian tanah. Selanjutnya pihak cabang BPN akan menindaklanjuti dengan mengukur, memeriksa dan memverifikasi surat sesuai dengan kondisi fisik.
Disini pihak BPN tidak sendiri ada bagian desa dan perangkat RT-RW yang turut serta. Seperti biasa agar lancar semua harus diberi amplop. Memang begitulah kenyataan di lapangan, mentalitas administrasi masih belum dimiliki pegawai negeri ini.
Proses sertifikasi tanah ini ternyata belum selesai, meski sudah diukur dan disetujui semua pihak. Masih ada lagi hambatan atau celah hingga surat tanah ini tak kunjung keluar. Ternyata butuh sejumlah uang lagi untuk keluarnya SK hak atas tanah. Namun inipun juga tak kunjung usai, saat ditanyakan lagi perjalanan surat masih berjalan dari meja satu ke meja berikutnya dan tak kunjung selesai sampai 10 tahun berjalan. Padahal semua persyaratan dan proses sudah selesai dari pihak pemohon. Seperti membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) ke dinas pendapatan daerah yang sudah disyaratkan. Ada yang bilang bahwa harus ada uang dari meja ke meja, hal inilah yang menjadi hambatan bagi yang mengurus sertifikat tanah.
Ini menjadi pengalaman berharga saat membeli rumah yang belum memiliki sertifikat tanah resmi. Memang sebaiknya hindari membeli sebuah masalah.