Saat ekspor melewati level psikologis sempat membuat rupiah menguat tajam, namun seiring menurunnya performa ekspor kondisi rupiah menjadi tertekan. Neraca perdagangan yang defisit memang membuat tekanan tersendiri bagi rupiah. Pasokan dollar menjadi berkurang hingga likuiditasnya mempengaruhi pasar valas hingga rupiah di ambang krisis.
Menurunnya performa ekspor ini diduga akibat melemahnya ekonomi di daerah tujuan ekspor, dan inipun terlambat diantisipasi. Akibatnya ekspor menurun tapi impor masih tetap tinggi. Kondisi ini memang berbanding terbaik saat ekpor begitu getol hingga menembus level psikologi.
Akibat dari rupiah yang naik tajam ini membuat daya saing ekspor menjadi menurun. Perlahan tapi pasti nilai ekspor juga semakin menurun sampai mencetak level psikologi bawah hingga terjadi deficit secara berturut-turut. Memang ada yang aneh kenapa ekspor sudah jatuh tapi nilai impor tetap tinggi, diduga bertambahnya golongan kelas menengah memacu era konsumtif baru di perekonomian rupiah.
Memang selama ini ekonomi rupiah tumbuh dari sektor konsumtif, maka wajar dengan bertambahnya kelas menengah maka makin tinggi tingkat konsumtifnya. Salah satu yang sedang tren adalah sektor otomotif. Sektor ini mengalami peningkatan yang tajam saat kelas menengah bertambah banyak, akibatnya nilai impor akan bahan industri otomotif semakin tinggi. Memang tidak semua komponen otomotif dibuat di dalam negeri.
Naiknya sektor otomotif ini juga mendorong konsumsi bahan bakar yang semakin tinggi. Ini ditandai dengan impor minyak bumi yang juga semakin tinggi, bahkan setiap bulan menunjukan rekor tersendiri dan di luar prediksi anggaran yang sedang berjalan. Akibatnya defisit neraca perdagangan semakin susah diatasi, ada permintaan yang tinggi akan komponen impor yang tidak bisa dibatasi.
Memang resikonya bisa menghantam perkembangan sektor otomotif yang sedang booming. Bahkan dengan lahirnya mobil LCGC sebenarnya menjadi beban tersendiri untuk rupiah. Meskipun tujuannya untuk menghemat bahan bakar dan menekan impor BBM, namun pada kenyataannya komponen industri LCGC masih banyak yang impor.
Mata rantai negative yang menekan rupiah ini memang akan sulit dikendalikan dalam beberapa tahun ke depan. Neraca perdagangan bisa diduga akan minus selama beberapa tahun, kecuali nilai ekspor bisa digenjot ke level psikologis sebelumnya. Memang nilai impor akan tetap tinggi, namun bila bisa meningkatkan nilai ekspor akan meringankan rupiah dari tekanan yang bertubi-tubi.
Memang bukan hal mudah karena banyak yang berkepentingan di boomingnya sektor otomotif ini. Nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi juga dibutuhkan oleh rupiah, namun sebenarnya juga menjadi beban dari meningkatnya defisit neraca perdagangan. Memang harus ada kebijakan yang bisa mengerem sisi konsumtif dari rupiah dan merubahnya menjadi lebih ekonomis, karena pertumbuhan yang dibangun dari sisi konsumtif tidak akan memberi nilai bagi fundamental ekonomi rupiah.