Persoalan hutang untuk bayar bunga utang yang berujung pada pemangkasan anggaran, nampaknya akan mempengaruhi pengadaan alusista yang sedang berjalan. Meskipun sebagian besar sudah disetujui bappenas, besar kemungkinan akan ditimbang lagi kelayakannya di depkeu. Meja terakhir yang akan meloloskan proyek seperti penggadaan iver-class atau light destroyer ini bakal mengkaji kembali pengaruhnya bagi stabilitas fiscal.
Di tengah kasus Natuna yang memanas, sebenarnya presiden yang sudah berkunjung di salah satu kapal perang di Natuna ini mengisyaratkan agar tidak mengutak-atik anggaran untuk keamanan Natuna. Namun bisa jadi tidak diutak-atik atau dibatalkan istilah kasarnya, ada kemungkinan akan ditunda. Ini mengingat anggaran pengadaan kapal perang light destroyer ini cukup besar.
Juga sebenarnya tergantung pada proposal yang diajukan oleh kemenhan dalam pengaruhnya terhadap kestabilan fiscal. Andai proyek pengadaan kapal perang ini bisa dilakukan di dalam negeri dengan komponen local di atas 80 persen, mungkin depkeu tidak akan keberatan. Namun diperkirakan peralatannya masih impor semua, meski untuk komponen baja sudah mulai dipasok oleh PT Krakatau Steel, tapi komponen kapal perang seperti mesin, sensor atau persenjataan diperkirakan masih impor dengan rasio yang masih sangat besar.
Pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh Sri Mulyani bukan saja untuk menekan besarnya hutang untuk membayar bunga saja, tapi agar anggaran dari hutang ini memiliki nilai manfaat atau komersial. Anggap saja anggaran dari hutang dengan bunga 2 persen pertahun hendaknya bisa menghasilkan 5 persen profit, itu istilah orang ekonomi. Meskipun untuk masalah keamanan nasional tidak ada istilah profit dalam pengadaan anggarannya, seperti NKRI harga mati.
Namun tidak adakah pilihan dalam menghadapi kondisi Natuna yang memanas ini?
Tentu saja pilihan masih banyak, hanya memang negeri seberang dalam hal ini Cina dalam beberapa tahun ini sudah membangun banyak armada kapal perang destroyer dan kapal induk ke 2 serta ke tiga sudah mulai terlihat bentuknya. Bila mereka sandar di zona ZEE natuna, maka apa yang menjadi pilihan Jakarta.
Sudah beberapa kali Cina melakukan water test atau menguji reaksi Indonesia, dengan 8 dash line, 9 dash line dan mungkin 10 dash line yang akan melingkari kepulauan Natuna. Tentu saja pilihan NKRI harga mati tanpa persenjataan yang memadai akan sama saja dengan bunuh diri. Mereka yang di front line bisa tidak bahagia dengan kebijakan Jakarta dalam menangani kondisi Natuna.
Apalagi bila dibandingkan dengan Vietnam, dengan GDP yang lebih rendah, masih bisa mendatangkan 6 kilo class submarine, SAM jarak menengah. Meskipun memang kondisinya berbeda dengan Indonesia dalam posisi sengketa frontal yang lebih besar, tapi setidaknya bisa mengimbangi kondisi yang sedang berkembang. Kita sebenarnya on the right tack dalam pengadaan alusista, yaitu dengan menggerakan industri local sebagai produsen alusista nasional.
Ini sebenarnya yang dikejar oleh depkeu, agar industri militer ini lebih cepat menyerap transfer teknologi dan menguasai mayoritas pengadaan komponennya. Sehingga tidak sia-sia cari hutang buat bayar bunga hutang.