Rupiah Tertekan oleh Naiknya Utang Luar Negeri

08 April 2014

Sudah sejak lama banyak pihak mengkhawatirkan naiknya utang luar negeri, karena membumbung tak terbendung. Utang yang rata-rata dalam bentuk dollar ini bisa menjadi bom waktu di masa depan. Tak terkecuali pada stabilitas rupiah, bisa jadi anjloknya rupiah hanya masalah waktu.

Memang pada beberapa waktu rupiah cukup perkasa, menguat cukup tajam hampir 3 persen dalam kurun dua bulan. Namun ditenggarai masuknya hot money dan naiknya utang luar negeri menjadi penyebabnya. Padahal dua hal ini menjadi keruntuhan beberapa ekonomi di eropa beberapa waktu silam.

Ambil contoh Yunani yang mengalami gagal bayar dan dinyatakan default, utangnya memang sudah beberapa kali lipat dari GDP Negara tersebut. Ini diikuti Spanyol yang utangnya juga diatas 100 persen dari GDP, namun masih bisa keluar dari tekanan dengan melakukan pengetatan anggaran dan belanja. Memang bila dilihat utang luar negeri Indonesia masih di kisaran kecil bila dibandingkan dengan Negara-negara tersebut, tapi Indonesia bukanlah Negara eksporter, yang bisa memanen dollar untuk mengembalikan utang-utangnya.

Resikonya bisa tinggi, saat utang-utang ini sudah jatuh tempo, akibatnya bisa menekan rupiah, yang sebenarnya sudah megap-megap dalam menyokong ekonomi negeri ini. Memang tata kelola yang in-efisien membuat rupiah tidak sekuat pertumbuhan ekonominya. Rupiah bak sampah bagi banyak pihak karena memang tak berharga dan bernilai.

Sebenarnya masalah utang luar negeri, membumbungnya deficit perdagangan dan anggaran belanja, tak lepas dari subsidi energi yang tidak efisien. Dana ratusan trilyun yang harusnya bisa digunakan menjadi dana murah untuk pembangunan infrastruktur, dihambur-hamburkan untuk pembiayaan konsumtif. Selama ini memang dimanja dengan BBM murah, yang sebenarnya malah membuat pondasi ekonomi menjadi lemah.

Ada “kepicikan” atau “keterbelakangan” dalam mensejahterahkan rakyat dengan nama subsidi, jaminan sosial, BLT, yang sebenarnya membuat rakyat menjadi malas dan dininabobokan dengan berbagai kemudahan konsumtif. Padahal Negara ini harusnya sudah maju, masuk dalam sepuluh besar ekonomi dunia. Apa yang dikatakan analis di Goldman Sachs beberapa waktu yang lalu ada benarnya, infrastruktur dan leadership menjadi masalah serius bagi ekonomi rupiah.

Selama ini tidak ada leadership yang tegas dalam membawa ekonomi rupiah keluar dari ekonomi kerakyatan yang konsumtif ini, sehingga banyak proyek infrastruktur yang menjadi korbannya. Justru orang masih berpihak pada ekonomi menjual asset Negara untuk membiayai ekonomi yang konsumtif. Bisa jadi Negara ini akan tenggelam dengan cepatnya.

Memang mayoritas pendidikan rakyat Indonesia adalah 85 persen pendidikan SD, namun harusnya tidak dimanipulasi untuk retorika dan ambisi politik untuk kekuasaan semata. Harus dilihat sebagai bangsa yang besar, harus membangun sekarang dan bersusah dulu bersenang kemudian. Seorang negarawan tidak akan begitu “picik” dalam memandang sebuah subsidi BBM, asset Negara, dalam ekonomi rupiah.
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
logo
Copyright © 2013-2015. Analisa Investasi - All Rights Reserved
-->